Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2020

Kronologis Hilangnya Hari Ahad

Alkisah; Sebelum Tahun 1960, Tak Pernah Dijumpai Nama Hari Yang Bertuliskan "MINGGU" Selalu Tertulis Hari "AHAD". Begitu Juga Penanggalan di Kalender Tempo Dulu,  Masyarakat Indonesia Tidak Mengenal Sebutan "Minggu". Kita Semua Sepakat Bahwa Kalender Atau Penanggalan di Indonesia Telah Terbiasa Dan Terbudaya Untuk Menyebut Hari "AHAD" di dalam Setiap Pekan (7 hari) Dan Telah Berlaku Sejak Periode Yang Cukup Lama. - Bahkan Telah Menjadi Ketetapan di dalam Bahasa Indonesia. - Lalu Mengapa Kini Sebutan Hari Ahad Berubah Menjadi Hari Minggu ? - Kelompok Dan Kekuatan Siapakah Yang Mengubahnya ? - Apa Dasarnya ? - Resmikah Dan Ada Kesepakatankah ? Kita Ketahui Bersama Bahwa Nama Hari Yang Telah Resmi Dan Kokoh Tercantum ke dalam Penanggalan Indonesia Sejak Sebelum Zaman Penjajahan Belanda Dahulu Adalah Dengan Sebutan : 1. "Ahad" (Al-Ahad = Hari Kesatu), 2. "Senin" (Al-Itsnayn=Hari Kedua), 3. "Selasa" (Al-Tsalaatsa' = H

JANGAN PERNAH MENAGIH HUTANG

Seorang ayah berpesan pada kedua anaknya, Ingat 2 hal ini ya.. Pertama, jangan pernah kamu menagih piutang Kedua,  jangan pernah tubuhmu terkena terik matahari secara langsung 5 tahun berlalu setelah sang ayah wafat, Sang ibu datang menengok anak sulungnya  “Wahai anak sulungku kenapa kondisi bisnismu demikian?” Si Sulung menjawab : “Saya mengikuti pesan ayah bu… Ayah bilang,  Saya dilarang menagih piutang kepada siapapun sehingga banyak piutang yg tidak dibayar dan lama² habislah modal saya.. Terus ayah melarang saya terkena sinar matahari secara langsung dan saya hanya punya sepeda motor, itulah sebabnya pergi dan pulang kantor saya selalu naik taxi, beginilah akhirnya" Sang ibu merenung, lalu sang ibu pergi ke tempat si bungsu , Ternyata si bungsu sekarang menjadi orang sukses, Sang ibu pun bertanya “Wahai anak bungsuku, hidupmu sedemikian beruntung, apa rahasianya…?” Si bungsu menjawab : “Ini karena saya mengikuti pesan ayah bu.. Pesan yg pertama saya dilarang mena

kisah Umar

Suatu hari, Umar  sedang duduk di bawah pohon kurma dekat Masjid Nabawi. Di sekelilingnya, para sahabat sedang asyik mendiskusikan sesuatu. Tiba-tiba datanglah 3 orang pemuda. Dua pemuda memegangi seorang pemuda lusuh yang diapit oleh mereka. Ketika sudah berhadapan dengan Umar, kedua pemuda yang ternyata kakak beradik itu berkata : "Tegakkanlah keadilan untuk kami, wahai Amirul Mukminin!" "Qishashlah pembunuh ayah kami sebagai had atas kejahatan pemuda ini !". Umar segera bangkit dan berkata : "Bertakwalah kepada Allah, benarkah engkau membunuh ayah mereka, wahai anak muda?" Pemuda lusuh itu menunduk sesal dan berkata : "Benar, wahai Amirul Mukminin." "Ceritakanlah kepada kami kejadiannya.", tukas Umar. Pemuda lusuh itu kemudian memulai ceritanya : "Aku datang dari pedalaman yang jauh, kaumku memercayakan aku untuk suatu urusan muammalah untuk kuselesaikan di kota ini. Sesampainya aku di kota ini, ku ikat untaku pada sebuah pohon

KERIS ORANG MINANG

Keris orang Minangkabau itu di depan, bukan di samping atau di belakang, ada falsafah yang tersembunyi disana mengapa keris orang Minang itu di depan.  'Patah lidah bakeh kalah, patah karih bakeh mati'  Begitu bunyi pepatah, orang Minang hanya mengangguk pantang untuk membungkuk, jika disuruh atau di paksa membungkuk keris mesti dicabut dahulu, patah karih bakeh mati Sukar bagi orang lain ( bukan orang Minang ) untuk memahami falsafah ini, hanya orang Minang yang mengerti itu pun bagi mereka yang arif dan bijak dalam memahami kiasan, setiap kieh atau  kiasan memerlukan kejelian dan ketangkasan dalam berfikir kadang kiasan itu tidak bisa di artikan dengan logika.  Falsafah atau Kiasan-kiasan inilah yang telah membentuk kepribadian anak Minang baik di kampung maupun di rantau orang. Ada satu lagi kiasan yang sudah jarang di sebut orang 'Anak Minang tidak merantau kalau tidak berisi'  Makna atau arti secara mendatar orang beranggapan berisi yang di maksud tentu

BAPAK

*B A P A K*   _"Ris, Bapak sakit, harus dirujuk ke Jakarta."_ suara Bang Dika diujung telepon. Aku terdiam sejenak, akhir - akhir ini Bapak memang sakit - sakitan.  Di kampung kami belum ada dokter ahli jantung yang bisa menangani beliau, jadi jika perlu perawatan lanjut harus dirujuk ke kota Jakarta. _"Ris...kok diam ? kamu nda keberatan toh ? Bapak tinggal dirumahmu dulu yah, abang cuma bisa nganter terus balik lagi ke kampung,"_ Jelas Bang Dika. _" Iya Bang...ga' papa, ini kan Bapakku juga."_ jawabku cepat. Takutnya Bang Dika berpikir macam - macam. _" Ya udah, besok kami berangkat, ga' usah dijemput, abang bawa mobil, tadi teman kasih pinjam untuk sehari."_ _" Iya Bang."_ Kuletakkan kembali HP ke atas meja. Kulirik Mas Feri yang daritadi ikut mendengar percakapanku. Wajahnya terlihat resah. Kuhampiri dan duduk di dekatnya. _" Bapak mau kesini ? sama siapa ?"_ tanyanya cepat. _" Iya Mas, besok Bapak diantar Ban